Dari Abdulloh bin ‘Amr bin Al ‘Ash rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya puasa yang paling dicintai Alloh adalah puasa Dawud dan sholat yang paling dicintai Alloh adalah sholatnya Dawud; beliau itu tidur setengah malam dan bangun di sepertiga sesudahnya lalu tidur seperenam malam sisanya, dan beliau senantiasa berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Tahajjud no. 1131 dan dalam kitab Ahaaditsul Anbiyaa’ no. 3402, Muslim dalam kitab Shiyaam 1159, 189, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2448, Ad Daarimi II/20 dalam kitab Shoum, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1712 dan Ahmad dalam Musnad-nya II/160)
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Sehari berpuasa dan sehari berbuka merupakan amalan puasa yang paling utama karena di dalamnya sudah menyamai puasa Dahr.
2. Tidur di setengah malam pertama, kemudian bangun untuk sholat di sepertiga sesudahnya, lalu tidur seperenam sisanya merupakan tata cara sholat malam yang paling utama karena pada cara ini tubuh dipenuhi kebutuhannya untuk beristirahat terlebih dulu kemudian bangun malam di waktu-waktu turunnya Alloh ke langit dunia lalu tidur seperenam sisanya supaya tubuh lebih segar dalam melakukan sholat shubuh dan untuk berdzikir sesudahnya.
3. Ibadah itu penuh keseimbangan dan keadilan, sehingga tidak boleh lalai dari beribadah kepada-Nya dan juga tidak boleh berlebih-lebihan dalam mengerjakannya, karena Robbmu itu memiliki hak atasmu, demikian juga keluargamu maka tunaikanlah setiap hak kepada pemiliknya.
4. Alloh Tabaaroka wa Ta’aala telah menyediakan berbagai macam ibadah bagimu, apabila kamu terlalu memforsir diri hanya pada salah satunya bisa saja menyebabkan yang lainnya tertinggal, maka sudah semestinya kamu sisakan kekuatan untuk mengerjakan yang lainnya. Kebiasaan yang berjalan pada manusia seperti bergaul dengan keluarga, mengunjungi sahabat-sahabat, mencari rizki, berbincang-bincang dengan anak-anak, tidur; itu semua bisa bernilai ibadah apabila diniatkan untuk meraih pahala dan menunaikan hak-hak sesama. Jadi keutamaan yang Allah sediakan amatlah luas dan kebaikan-Nya amatlah agung (lihat Taisirul ‘Allaam Juz I hal. 388).
Puasa 3 Hari Setiap Bulan
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: “Kekasihku shollallohu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepadaku dengan tiga perkara: Puasa 3 hari setiap bulan, sholat 2 rokaat Dhuha dan sholat witir sebelum tidur.” (Hadits riwayat Al Bukhori di kitab Shoum no. 1981, kitab Tahajud no. 1178, Muslim dalam kitab Sholatul Musafirin no. 721, Abu Dawud dalam kitab Sholat no. 1432, Ad Daarimi dalam kitab Sholat I/339, II/18,19 di kitab Shoum, Ahmad dalam Musnad-nya II/258, 271, 277, 402, 459, 497, 526)
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Disunnahkan puasa tiga hari setiap bulan, yaitu pada tanggal 13, 14 dan 15 sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Qotadah bin Malhan yang diriwayatkan oleh Ahlu Sunan, beliau mengatakan: Dahulu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk puasa pada hari-hari putih yaitu pada tanggal 13, 14 dan 15, dan beliau mengatakan “Puasa ini setara dengan puasa sepanjang masa.”
2. Disunnahkan melakukan sholat Dhuha serta sering-sering melakukannya bagi orang yang tidak kuat bangun sholat malam agar dia tidak kehilangan sholat (sunnah) siang dan malam sekaligus.
3. Mengerjakan witir sebelum tidur bagi orang yang berdasarkan perkiraan kuat tidak kuat untuk bangun di akhir malam, adapun orang yang merasa kuat untuk bangun di akhir malam hendaknya dia mengerjakan di akhir malam, dan apabila luput darinya karena tidur atau lupa disunnahkan untuk mengqodho’nya.
4. Tiga hukum yang disebutkan dalam hadits ini termasuk wasiat Nabi yang sangat berharga yang sudah semestinya diperhatikan dan bersemangat dalam mengerjakannya, sebab mengandung manfaat yang amat besar dan kedudukannya sangat mulia (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal 390).
Larangan Puasa di hari Jum’at
Dari Muhammad bin ‘Abbaad bin Ja’far beliau mengatakan: “Aku pernah bertanya kepada Jabir bin ‘Abdillah: ‘Apakah Nabi shollallohu ‘alihi wa sallam melarang puasa di hari Jum’at?’ Dia menjawab: ‘Ya.’” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1984, Muslim dalam kitab Shiyam no. 1143)
Imam Muslim memberikan tambahan riwayat: “(ya) Demi Rabb ka’bah.”
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau bekata: Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa di hari Jum’at, kecuali sehari sebelum atau sesudahnya berpuasa.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1985, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1144, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2420, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 743, Ibnu Maajah di kitab Shiyam no. 1723)
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Larangan mengerjakan puasa di hari Jum’at saja.
2. Hal itu boleh dilakukan apabila diiringi puasa sehari sebelum atau sesudahnya, atau karena bertepatan dengan puasa yang sudah biasa dikerjakan (misal Puasa Dawud, pent).
3. Larangan puasa di dalam hadits ini dibawa menuju hukum makruh li tanzih (bukan haram) karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah berpuasa pada hari itu dalam rangkaian puasa yang biasa beliau lakukan. Beliau memberikan keringanan bolehnya berpuasa pada hari itu apabila diiringi dengan puasa sehari sebelum atau sesudahnya, seandainya larangan ini dibawa ke hukum haram niscaya tidak boleh puasa di hari itu sebagimana haramnya berpuasa di hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (lihat Taisirul’Allaam juz I hal. 391).
Larangan Puasa di Hari Raya
Dari Abu ‘Ubaid maula Ibnu Azhar yang bernama Sa’ad bin ‘Ubaid, beliau berkata: “Aku pernah menghadiri hari raya bersama ‘Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhu dan beliau berkata dalam khotbahnya: Dua hari raya ini dilarang oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk mengerjakan puasa, yaitu hari kalian ber idul fithri dan hari kalian menyembelih kurban.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1990, kitab Al Adhoohi no. 5571, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1137, Abu Dawud no. 2416, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 771, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1772)
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Diharamkan berpuasa pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha.
2. Puasa pada dua hari itu tidak dianggap sebagai puasa sehingga hukumnya tidak sah apabila dilakukan, sama saja apakah karena qodho’ atau puasa sunnah, atau puasa nadzar.
3. Hikmah larangan puasa pada hari itu adalah sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits: masuknya Idul Fithri adalah tanda berakhirnya bulan Romadhon maka hendaknya dibedakan dan supaya diketahui batas puasa wajib dengan merayakan Idul Fithri. Demikian pula beliau melarang puasa sehari atau dua hari sebelum Romadhon dalam rangka membedakan bulan puasa ini dengan bulan-bulan yang lainnya.
4. Disunnahkan bagi khothib mengingatkan hukum-hukum yang terkait dengan kondisi pada saat dia berbicara dan hendaknya dia berusaha memilih tema-tema yang bersesuaian (Lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 392).
Balasan Bagi Orang yang Berpuasa Ketika Berjihad Fii Sabiilillaah
Dari Abu Sa’id Al Khudri rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa berpuasa sehari ketika berjihad di jalan Alloh niscaya Alloh akan menjeuhkan wajahnya dari apai neraka sejauh perjalanan 70 tahun.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Jihad no. 2840, Muslim dalam kitab Shiyaam 128,1153, At Tirmidzi dalam kitab Fadhooilul Jihad no. 1623, An Nasaa’i dalam kitab Shiyaam IV/173, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1717)
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Keutamaan berpuasa di tengah suasana jihad fii sabiilillaah serta pahala agung yang akan diberikan atasnya.
2. Disunnahkannya berpuasa ketika jihad dengan syarat tidak melemahkan kekuatan berjihad, apabila berpuasa justru membuatnya lemah maka disunnahkan baginya meninggalkan puasa karena jihad termasuk maslahat umum yang lebih luas cakupannya adapun puasa maslahatnya hanya terbatas pada diri orang yang berpuasa, karena semakin luas kemaslahatan yang terkandung dalam suatu ibadah maka itulah yang lebih utama (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 394).