KabarIndonesia - Bulan Ramadhan, bagi umat Islam diyakini dapat membawa berkah bagi kehidupan pribadi, keluarga dan sosial. Sebab, di bulan yang suci ini, umat Islam kembali menjalankan salah satu ibadahnya, yaitu puasa. Setelah menjalankan ibadah puasa, umat Islam akan merayakan hari kemenangan, yaitu Idul Fitri. Namun, fenomena yang selalu muncul di setiap bulan Ramadhan di Indonesia adalah munculnya sejumlah larangan, yang katanya dalam rangka menghormati ibadah Puasa tersebut. Misalnya larangan bagi club-club malam untuk beroperasi selama bulan Ramadhan, larangan berjualan makanan di siang hari di daerah-daerah tertentu, bahkan terakhir ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan semacam surat edaran yang berisi larangan bagi stasiun TV untuk menayangkan program acara yang menampilkan tokoh banci.
Kaum Moderat dan konservatis Islam, tentu memiliki pandangan yang berbeda soal larangan-larangan di bulan Ramadhan ini. Ini sekaligus juga memperlihatkan bahwa sikap ini tidak otomatis memperlihatkan pandangan teologis Islam secara menyeluruh tentang fenomena yang sedang berlangsung. Namun, khusus soal larangan-larangan itu, pendapat saya, bahwa ini bisa terkait dengan makin menguatnya gerakan kaum fundamentalis Islam di Indonesia. Teman saya, Subronto Aji, sekarang Wakil Sekjend PB PMII, ketika menjawab pertanyaan saya melalui SMS tentang fenomena ini mengatakan, larangan-larangan di bulan Ramadhan tersebut adalah bentuk-bentuk dari politik mayoritas dalam ruang publik.
Apakah cuma itu? Saya membalas SMS-nya dengan berkata, “Menurut saya, selain benar apa yang anda katakan, tapi ini juga soal semakin menguatnya fundamentalisme beragama dalam Islam. Dalam agama Kristen juga begitu yang sedang terjadi, meski bentuk tampilannya berbeda.”
Menurut saya, ini memiliki konsekuensi bagi keberlangsungan hidup bernegara di Indonesia ini. “Ini persoalan bagi keberlangsungan Indonesia yang majemuk,” kataku melanjutkan SMS balasanku kepadanya. Sebab, yang tampak sekarang bahwa Indonesia seolah-olah hanya diatur oleh satu agama saja. Kalau begini yang terjadi terus, NKRI berada dalam ancaman disintegrasi!
Dalam sebuah dialog di TVOne yang membahas tentang larangan dari KPI bagi stasiun TV yang menyiarkan program dengan menampilkan tokoh banci, juga menyebut-nyebut Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kata salah satu anggota KPI yang menjadi nara sumber dalam dialog itu, bahwa mereka telah melakukan dengar pendapat dengan publik, yang antara lain menghadirkan MUI. Dia tidak menjelaskan kalau dalam dengar pendapat itu hadir juga dari kalangan banci. Sebab, alasan yang dikemukakan oleh anggota KPI itu, bahwa tayangan yang menampilkan tokoh banci salah satunya adalah mengkeksploitasi para banci, selain katanya bisa berbahaya bagi pertumbuhan psikoligis anak-anak di bawah umur yang kebetulan menonton siaran itu. Aku yang menonton siaran dialog itu, langsung mengkaitkan persoalan ini dengan kerja MUI yang kebanyakan hanya mengeluarkan fatwa. Lagi-lagi MUI. Sedangkan kita sudah tahu bersama, meski MUI selalu mengatakan bahwa fatwanya tidak untuk melahirkan konflik, tetapi kelompok-kelompok militan Islam seperti FPI selalu menggunakan fatwa MUI untuk melakukan aksinya yang radikal. Lihat saja persoalan diskriminasi terhadap Ahmadiyah, yang berbentuk aksi kekerasan pada kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) 1 Juni silam di Monas. Ujung-ujungnya adalah konflik.
MUI, apakah organisasi keagamaan ini kaki tangan pemerintah atau sebaliknya? Sebagai warga negara Indonesia, yang selalu membangga-banggakan kemajemukan negara ini, aku jadi bertanya, apakah negara ini hanya milik satu agama? Aku mengerti, bahwa menyebut agama dalam konteks ini tidak bermaksud mengatakan bahwa semua umat Islam kerjanya hanya larang-melarang. Ini memang bukan sikap Islam secara keseluruhan, melainkan kelompok Islam yang berpikiran konservatif dan tidak menghargai kebebasan beragama, berekspresi dan keragaman Indonesia.
Fenomena larangan-larangan ini, yang ternyata dibelakang-belakangannya terkait dengan sikap konservatif MUI, menurut saya sedang mempertontonkan sikap berdemokrasi dan beragama kebanyakan rakyat Indonesia yang belum beres. Kebanyakan kita belum sepenuhnya menghargai perbedaan dan kebebasan. Agama akhirnya hanya soal benar salah, bukan gerakan moral dan spiritual untuk membawa manusia pada kedamaian. Meski begitu, saya sebenarnya tidak bermaksud menghalalkan kemaksiatan dan berbagai bentuk kejahatan lainnya. Yang ingin saya katakan, bahwa persoalan moralitas dan spiritualitas sejatinya adalah urusan agama. Jadi, ketika banyak orang yang suka melakukan maksiat misalnya, maka ini sebenarnya harus dikembalikan pada agama-agama yang ada, bukan dibawa ke urusan bernegara yang mengandalkan legal formalnya. Kalau banyak orang Indonesia yang moralitasnya tidak benar, maka ini sebenarnya merupakan kritik terhadap agama itu sendiri. Yang akan kita tanya ke negara adalah peran institusi itu dalam mengatasi kemiskinan, kebodohan dan keberanian hukum untuk menangkap para koruptor.
Sehingga MUI mestinya tak perlu menggandeng negara untuk melakukan upaya pertumbuhan iman bagi umatnya. Sebab, negara ada wilayah penataan dan pengelolaan kehidupan bersama dalam keragaman berdasar legal formal, yang sanksi-sanksinya adalah alat untuk mengusahakan ketertiban hidup bernegara. Sementara agama memiliki hukumnya sendiri, dan sudah tentu bentuk dan prinsip penerapan hukum agama dan hukum negara juga berbeda.
Soal lain yang harus saya sebutkan, bahwa MUI, dan kelompok Islam lainnya, wilayahnya ada di agama Islam itu sendiri, bukan semua warga negara Indonesia. Bayangkan, kalau misalnya ada fatwa larangan merokok, yang rugi pertama-tama tentu adalah orang-orang yang bukan Islam. Selain memang, secara jujur kita harus mengatakan bahwa orang Islam sendiri yang gemar merokok juga banyak yang tidak menerima fatwa itu.
Akhirnya, marilah secara jujur dan komprehensif kita memaknai persoalan-persoalan sosial yang selama ini menjadi sasaran fatwa MUI dan kelompok gerakan fundamentalisme Islam lainnya di Indonesia, misalnya soal kemaksiatan dan berbagai bentuk kejahatan lainnya. Bahwa, munculnya berbagai penyakit masyarakat di lingkungan kita, mestinya harus dilihat sebagai bagian dari kegagalan negara ini dalam mensejahterakan hidup rakyatnya. Ketika sekolah hanya menjadi milik orang kaya, maka orang-orang miskin akan tetap bodoh, sehingga lebih mudah melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum agama dan negara sebagai pelarian untuk menghilangkan frustrasi sosial. Pada saat yang sama, agama hanya sibuk mengurus benar-salah, sorga-neraka dan tidak hadir dengan kesadaran untuk melakukan inovasi agar umatnya bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan dan kebodohan.
Sehingga yang harus agama-agama lakukan sekarang adalah berhenti mendikte umatnya, dan mari lakukan upaya pemberdayaan dan advokasi bagi umatnya yang sampai hari ini hidupnya masih banyak yang belum sejahtera. Tapi memang, mengawali itu, agama-agama yang ada di Indonesia perlu meningkatkan daya nalarnya terhadap fenomena sosial dan kehidupan bernegara dengan terus melakukan pembaharuan pemikiran.