Depok, kota di selatan jakarta ini yang telah ada da dikenal sejak 1693 ini menyimpan sejarah yang sangat menarik untuk ditelusuri. sejak belanda masuk untuk membuka perkebunan dan pertanian pada 1693, sejak saat itulah orang depok dijuluki “Belanda Depok”. Sebenarnya siapakah yang disebut dengan “Belanda Depok” itu. kata tersebut terus melekat di benak masyarakat. Walaupun orang belandanya sendiri.
Tidak ada “warisan” yang dapat dijadikan prasasti sebagai tanda perjalanan sejarah bangsa Belanda di Depok. Yang ada hanya bangunan gereja dan belasan rumah yang ditempati para budak perkebunan dan pertanian yang dibeli kolonial dari sejumlah daerah di Indonesia. Sejarah itu hanya menjadi cerita dari mulut ke mulut, khususnya bagi keturunan dari para budak-budak tersebut.
Yang menarik dari cerita itu bahwa Depok saat itu merupakan sebuah kawasan tersendiri yang sengaja dibentuk Kumpeni Belanda. Dulu kawasan itu dipimpin oleh seorang presiden, yaitu Cornelis Chastelein. Ditunjuknya Cornelis sebagai presiden karena pada saat itu, hanya dialah orang Belanda yang membeli tanah di sana dan membukanya sebagai lahan perkebunan dan pertanian.
Hingga saat ini, namanya tetap diingat oleh “Bangsa Belanda Depok” dan diabadikan sebagai Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) di Jalan Pemuda, Kota Depok. Wafatnya Cornelis Chastelein pada 28 Juni 1714 dijadikan peringatan berdirinya ‘persatuan’ para pekerja perkebunan yang dibebaskan dari perbudakan di tahun 1714 asalkan mereka bersedia memeluk agama Kristen Protestan. Padahal undang-undang penghapusan perbudakan baru berlaku pada 1 Januari 1860. Pembebasannya melalui surat wasiat yang ditulisnya sendiri pada 4 Juli 1696, 11 Mei 1701, 21 Maret 1711 dan terakhir 13 Maret 1714. Para pekerja perkebunan itu sebidang tanah dan tambahan nama di belakang nama mereka dan disebut “Kaoem Depok”.
Ada 12 marga atau fam, yaitu Laurenz, Loen, Leander, Jonathans, Toseph, Yakob, Sudira, Samuel, Sadok, Isac, Bakas dan Tholence. Kini keturunan mereka umumnya tinggal di kawasan Depok Lama. Ke-12 keluarga besar itu kemudian dikenal dengan panggilan ‘Belanda Depok’. Pada dasarnya keturunan hamba sahaya itu tidak keberatan.”Kami ini sejak dulu orang Indonesia. Leluhur kami hanya sebagai pekerja di perkebunan milik Cornelis. Secara otomatis kami dididik dengan pola dan gaya hidup Belanda. Lalu siapa sebenarnya yang dipanggil Belanda Depok?” kata Ketua Lembaga Cornelis Chastelein, Rene Roland Loen yang lahir 66 tahun lalu.
Menurut cerita orang tua, kata Rene, sejak Cornelis masih hidup, hanya guru dan kepala sekolah saja yang orang Belanda asli. Selebihnya orang Indonesia asli. Yang membedakan dengan masyarakat asli Depok adalah pola dan gaya hidup saja. Tetapi sekarang ini semua itu sudah tidak ada lagi. Anak atau pun cucu serta keturunan sekarang ini tidak lagi menggunakan Bahasa Belanda. Mereka hanya dapat mengerti ucapan saja, sedangkan untuk mengucapkannya mereka tidak pandai.
Hingga saat ini, tidak ada dokumen peninggalan kejayaan Cornelis Chastelein. Tetapi untuk mengabadikannya, para bekas pekerja itu mendirikan Lembaga Cornelis Chatelein (LCC).
Lembaga itu kini bergerak di bidang kegiatan sosial, seperti mendirikan sekolah (SLTP, SMU dan SMK) di Jalan Pemuda, Depok. Jika berbicara sejarah Depok, nama Cornelis Chastelein tidak dapat dilepaskan. Ia merupakan pendiri dan pembentuk masyarakat Depok.
Berdasarkan surat wasiatnya yang disahkan dengan nama ‘Van de Edele Hooge Regeringe van Nederlands India’ pada tanggal 24 Juli 1714. Maka surat itu mulai berlaku pada 28 Juni 1714 yang kemudian dijadikan pula Hari Ulang Tahun Jemaat Masehi Depok.
Jadi jelaslah bahwa kota depok memiliki kaitan yang erat dengan belanda. Hingga sebutan “Belanda Depok” seakan menegaskan kuatnya pengaruh belanda di sana.